Bandung Barat|INFONESIA.ME //  Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menjadi kebanggaan pemerintah demi meningkatkan kualitas gizi siswa, kini justru dipertanyakan.

Insiden dugaan keracunan massal yang menimpa 38 siswa SMK PBB Cipongkor, Desa Sinargalih, bukan hanya sekadar musibah biasa. Banyak pihak mulai meragukan standar kebersihan, kualitas bahan, bahkan sistem pengawasan di balik dapur MBG.

Insiden bermula pada Senin (22/9/2025), saat siswa menyantap menu sederhana berupa nasi, ayam, dan tempe dari dapur MBG cabang Cipari.

Tak lama kemudian, gejala serupa menghantam puluhan siswa: mual, muntah, pusing, bahkan beberapa sampai kejang-kejang. Sebanyak 12 siswa harus dilarikan ke RSUD Cililin, sisanya ditangani di puskesmas dan bidan setempat.

Seorang wali murid, Elan (54), menyebut kondisi putrinya cukup mengkhawatirkan.

“Anak saya langsung muntah setelah makan. Dia bilang sempat pusing, badan lemas, lalu kejang. Alhamdulillah sekarang sudah sadar, tapi jelas ini bukan kasus kecil,” ujarnya.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: Bagaimana mungkin program sebesar MBG yang menyedot anggaran miliaran rupiah bisa kecolongan dalam hal keamanan pangan?

Celah Pengawasan

Dari penelusuran lapangan, distribusi MBG di beberapa sekolah kerap mendapat keluhan: menu tidak bervariasi, bahan makanan terkesan seadanya, dan kualitas penyajian yang tidak higienis.

Apalagi, dapur penyedia MBG ditunjuk langsung oleh pihak tertentu dan hanya diawasi secara administratif tanpa uji laboratorium rutin terhadap bahan makanan.

“Kalau tidak ada kontrol ketat, kejadian seperti ini rawan terulang. Jangan sampai MBG jadi ladang proyek, tapi mengorbankan kesehatan anak-anak,” ujar seorang aktivis pendidikan di Bandung Barat yang enggan disebut namanya.

Dugaan Penyimpangan Anggaran

Lebih jauh, program MBG yang digadang-gadang sebagai simbol keberpihakan pada generasi muda ini juga diduga tidak transparan.

Beberapa sumber menyebut biaya per porsi yang ditetapkan pemerintah tidak sebanding dengan menu yang diterima siswa. Misalnya, anggaran Rp20.000 per porsi, namun yang tersaji hanya nasi putih, sepotong ayam kecil, dan tempe goreng tipis.

“Ini jelas patut ditelusuri. Bisa saja ada mark-up harga atau pemangkasan anggaran di tingkat pelaksana. Kalau benar, ini sudah masuk ranah penyalahgunaan,” tegas sumber tersebut.

Desakan Evaluasi

Kini, orang tua korban dan masyarakat mendesak pemerintah segera turun tangan. Tidak hanya sekadar memberikan perawatan kepada korban, tapi juga melakukan investigasi menyeluruh terhadap dapur MBG, alur distribusi, serta transparansi anggarannya.

“Kalau memang tidak mampu memastikan kualitas makanan, lebih baik dialihkan saja dalam bentuk uang saku. Anak-anak bisa membeli makanan sendiri, lebih jelas dan lebih aman,” pinta Elan, mewakili keresahan banyak orang tua.

Hingga berita ini diturunkan, pihak sekolah maupun dapur MBG cabang Cipari belum memberikan pernyataan resmi. Namun, jelas bahwa kasus ini bisa menjadi titik balik evaluasi besar-besaran program MBG yang sudah berjalan di berbagai daerah.

Apakah program bergizi gratis benar-benar menyehatkan siswa, atau justru menyisakan bahaya tersembunyi di balik piring mereka?

 

Jurnalis.  : An/Red

Editor.     : InfoNesia.me