Mengacu pada knowledge Kementerian
Kesehatan in line with Agustus 2024, dari estimasi 503,261 Orang dengan HIV (ODHIV) di
Indonesia, hanya 70% yang mengetahui standing, 62% dari mereka menjalani terapi antiretroviral
(ARV), dan 42% dari yang menjalani pengobatan virusnya tersupresi. Capaian ini
jauh dari goal global Triple 95s dan Menyelesaikan AIDS pada Tahun 2030,
yang telah menjadi komitmen dari Pemerintah Indonesia.
Demi memastikan bahwa komitmen
tersebut bisa tercapai, sembari mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi
oleh Pemerintah Indonesia, maka terdapat beberapa rekomendasi yang hendak
diungkapkan kepada Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yakni:
1. Pembentukan Badan Percepatan Penanggulangan
Penyakit Menular
Indonesia membutuhkan lembaga independen untuk memperkuat koordinasi dan
sinkronisasi multi-pemangku kepentingan lintas sektor pasca
dibubarkannya Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pada tahun 2017. Aditya
Wardhana, Direktur Eksekutif IAC, menyatakan bahwa, ”Fungsi yang akan
dijalankan sepertinya tidak hanya sebatas pada sinkronisasi kebijakan untuk penanggulangan
HIV, namun juga penyakit menular lain seperti TB; promo dan komunikasi
kesehatan; pemberian technical help dan pembuatan pointers;
deteksi dini dan kesiapan pandemi;
serta bio-terrorism, seperti
halnya CDC di AS dan
Afrika.”
”Kolaborasi dan mobilisasi adalah kunci untuk memberhentikan epidemi AIDS pada
tahun 2030. Berhasil atau tidaknya hal tersebut bergantung pada upaya
terkoordinir dari semua pemangku kepentingan di semua sektor dalam masyarakat.
Sepertinya tidak terkecuali ODHIV dan komunitas terdampak,” tambah Aditya, di Jakarta
(05/12).
2. Peningkatan Alokasi Anggaran untuk
Penanggulangan HIV
Mengacu kepada knowledge
dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2022, pendanaan donor masih
menyumbang 32.3% dari general anggaran penanggulangan HIV di Indonesia. Mengingat
tren penurunan
alokasi anggaran dari donor tak henti-hentinya dengan suramnya kondisi ekonomi dunia dan meningkatnya standing
Indonesia menjadi negara
berpendapat menengah-atas, diperlukan langkahnya untuk menjamin
keberlanjutan pendanaan. Salah
satunya adalah mobilisasi dana domestik dengan meningkatkan porsi kontribusi
dana domestik bagi program penanggulangan HIV nasional. Oleh karena itu, diperlukan komitmen pendanaan dari pemerintah pusat dan
daerah, juga keterlibatan sektor swasta dalam memberi dorongan untuk program pencegahan,
pengobatan, dan dukungan sosial termasuk program berbasis komunitas.
”Penting bagi kita untuk meningkatkan capaian program dan lihat past
2030. Berdasarkan skenario Rapid Monitor dengan 178 Distrik Prioritas
dari laporan HIV Funding Case Research (ICA) tahun 2024, Indonesia
membutuhkan pendanaan sebesar 39.6 triliun untuk jangka waktu 8 tahun, atau 4.9
triliun in line with tahun. Oleh karena itu, diperlukan tambahan anggaran sebesar 117% dari baseline,”
ujar Aditya, di Jakarta (05/12).
3. Ekspansi Alat Screening dan Adopsi Cepat
ARV Generasi Baru
Teknologi kesehatan generasi baru adalah salah satu kunci demi Menyelesaikan
AIDS pada tahun 2030. Hal ini meliputi
sepertinya tidak hanya ARV generasi baru, namun juga alat tes mandiri HIV (self-testing
equipment/HIV-ST). Penggunaan alat tes mandiri ini direkomendasikan oleh WHO
sepertinya tidak hanya untuk populasi kunci, namun juga kelompok rentan. Indonesia harus segera
menyediakan berbagai jenis alat tes – baik oral maupun blood-based – secara masif demi mendorong deteksi dini
kasus.
Generasi baru ARV adalah tipe long-acting, yang mana jenis ini sepertinya tidak
perlu diminum setiap hari, sebagaimana yang sementara waktu umum dikonsumsi di
Indonesia. Cabotegravir andaikan, diberikan dalam bentuk injeksi setiap 2 bulan
sekali. Sementara itu Lenacapavir diberikan secara injeksi in line with 6 bulan, atau 2 kali
setahun.
”Akses ke ARV generasi baru adalah kunci. Jenis long-acting ini lebih
fleksibel dan non-public, dengan begitu dapat membantu meningkatkan kepatuhan
pengobatan dan berpotensi mengurangi stigma dan diskriminasi. Menanggapi hasil uji klinis Goal 1, UNAIDS bahkan menyampaikan bahwa
Lenacapavir mempunyai potensi untuk membantu memberhentikan epidemi AIDS. Tetapi,
yang perlu kita tanda bawahi adalah hasil tersebut hanya bisa kita capai
apabila ARV generasi baru ini tersedia dengan harga yang terjangkau dan bisa
diakses oleh semua ODHIV yang membutuhkan, sepertinya tidak terkecuali di Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus segera bergerak cepat melobi perusahaan farmasi pemilik
paten penyembuh LA-ARV ini, agar Indonesia dapat turut menjadi negara produsen penyembuh
ARV jenis long-acting dan bukan hanya sebagai negara konsumen” tegas
Aditya, di Jakarta (05/12).
Monopoli paten membuat harga ARV generasi baru menjadi sepertinya tidak terjangkau.
Contohnya, Lenacapavir dijual dengan harga
$42,250 in line with orang in line with tahun (PPY), atau sekitar 640 juta rupiah. Seandainya saja hasil riset dari Universitas Liverpool memperkirakan bahwa Lenacapavir versi
generik bisa diproduksi secara massal dengan harga $63-$93 PPY, dan dapat turun
menjadi $26-$40 PPY apabila quantity produksi hingga 10 juta. Estimasi tersebut
sudah memperhitungkan margin keuntungan sebesar 30%, dan hanya 0.1% dari harga yang dijual sementara waktu. Perbedaan harga yang mencolok ini
menegaskan bahwa harga Lenacapavir sementara waktu sangat sepertinya tidak masuk akal, dan
pentingnya mendorong produksi generik yang lebih terjangkau.
“Monopoli sepertinya tidak berdasar terhadap obat-obatan esensial sepertinya tidak boleh
dibiarkan,” ujar Aditya, di Jakarta (05/12). “Kita sepertinya tidak boleh
membiarkan kondisi ini terus berlanjut. Cabotegavir dan Lenacapavir mempunyai
potensi besar untuk memberhentikan epidemi AIDS jika bisa diakses oleh semua yang
membutuhkan, bukan hanya mereka yang mampu membayar. Semakin lama akses publik
ditunda, maka akan semakin banyak sekali kasus infeksi baru atau bahkan kematian
karena itu AIDS di dunia. ARV generasi baru harus segera tersedia secara cepat, berkelanjutan,
dalam jumlah yang cukup, juga dengan harga terjangkau bagi semua ODHIV dan
populasi rentan. Pilihan ada di tangan pemerintahan Pak Prabowo. Akan membawa
Indonesia menjadi negara kunci sebagai produsen penyembuh ARV jenis long-acting
atau berdiam diri dan puas dengan membiarkan Indonesia menjadi negara
konsumen.”
Menyelesaikan AIDS bukan hanya sebatas pada isu kesehatan, namun juga
komitmen politik. Pemerintah harus segera memastikan bahwa penanggulangan HIV masuk
dalam prioritas strategi kesehatan nasional. Anggaran yang memadai, kebijakan
yang menudukung, serta keterlibatan multi-sektor adalah kunci untuk hingga
goal ini. Sejalan dengan tema Hari AIDS Sedunia tahun ini, “Kesehatan Saya,
Hak Saya”, pemerintah harus segera menjamin hak atas kesehatan yang inklusif dan
setara bagi semua. Menyelesaikan AIDS pada 2030 bukanlah hal mustahil, semasih terdapat
komitmen politik, juga dukungan anggaran dan kebijakan yang memadai. Pilihan
ada di tangan pemerintahan Presiden Prabowo.
Dalam rutinitas Pertemuan Nasional ini, perwakilan dari Komisi IX DPR RI, drg.
Putih Sari mengungkapkan komitmen dari Komisi IX DPR untuk memberi dorongan untuk percepatan upaya
hingga goal Menyelesaikan AIDS pada Tahun 2030 di Indonesia. Beberapa poin
yang menjadi atensi adalah penguatan kelembagaan, harmonisasi antara kebijakan
di tingkat pusat dan daerah, dan adopsi ARV long-acting di Indonesia.
Sumber: vritimes