InfoNesia.me|Lembang// Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SDN Pancasila sangatlah penting untuk memastikan penggunaan dan perealisasiannya berjalan efektif dan tepat sasaran.
Kejelasan mengenai dugaan Korupsi dan indikasi banyaknya pungutan berkedok sumbangan partisipasi, uang kas, pembelian buku dan bayar komputer sekaligus pembayaran insentif guru honorer dari orangtua siswa yang terjadi di tingkat pendidikan dasar sangatlah dinantikan oleh beberapa warga Desa Gudangkahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang anaknya masih menempuh pendidikan di SDN Pancasila untuk mencegah kerugian yang lebih besar, dan memastikan keadilan bagi masyarakat.
Pada pemberitaan sebelumnya yang telah ditayangkan oleh Redaksi InfoNesia.me, dengan judul, “Sekolah Negri Rasa Swasta Dugaan Pungli Korupsi Dana BOS Di SDN Pancasila Bikin Orang Tua Meradang” pada Minggu (21/9/2025) membuat sejumlah pengurus komite dalam hal ini Koordinator kelas (Korlas) merasa terganggu atas pemberitaan yang telah di muat itu.
Kali ini, Tim Investigasi Jurnal Polisi News bersama wartawan Infonesia.me memenuhi undangan dari pihak sekolah dan pengurus Korlas SDN Pancasila, pada Jum’at (26/9/2025).
Dalam kesempatan itu, selain bertabayyun dengan pihak sekolah dan komite, salah satu perwakilan pengurus Korlas SDN Pancasila, Rheze Anggiani mengajukan hak jawab atas pemberitaan yang telah tayang sebelumnya.

Di awal konfirmasinya, Rheze mewakili pengurus Korlas yang lain mengaku merasa terganggu atas berita yang telah viral sebelumnya.
“Kalau dari berita yang sudah tayang, saya jujur amat sangat terganggu dan itu bisa dibilang fitnah. Kenapa bisa dibilang fitnah, karena saya bisa mempertanggungjawabkan,” katanya.
Untuk kartu kas yang berwarna putih yang ada tulisannya kas komputer dan PSP, Rheze menjelaskan, kami pengurus membuat itu sengaja untuk membebaskan orangtua.
“Silahkan orangtua akan istilahnya berpartisipasi di yang mana? di kas, di komputer, ataupun di partisipasi. Dan itu selalu kami sampaikan pada saat kami rapat pertemuan orangtua,” pungkasnya.
Soal pembayaran uang komputer, Rheze menyampaikan bahwa ada Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota kesepakatan antara SDN Pancasila dengan pihak Yayasan Al Azhar.
“Dan untuk kartu komputer itu, ada MoU-nya karena kita bekerjasama. Pihak sekolah itu bekerjasama dengan Yayasan, karena merupakan program unggulan, jadi ada kerjasama ada MoU-nya, dan itu berdasarkan kesepakatan ke sekolah orangtua, akhirnya kita bekerjasama dan harus ada nominal yang dibayarkan ke pihak Yayasan, itu memang sistemnya harus dibayarkan atau bisa dibilang mungkin wajib,” terangnya.
Tapi, sambungnya menuturkan, bagi orangtua ataupun siswa yang tidak bisa membayar, pihaknya mengaku tidak mempermasalahkan hal itu, asalkan ada kejelasan.
“Mohon maaf, apabila tidak mampu ada surat keterangan, apabila orangtua tersebut mampu tapi tidak ingin membayar mungkin harus ada pernyataan, alasannya apa tidak ingin membayar, dan kami membutuhkan itu sebagai bukti ke Yayasan, bahwa betul si siswa-siswa tersebut tidak melakukan pembayaran kepada kami. Jadi untuk menyingkronkan data pemasukan, maksudnya seperti itu,” paparnya.
Adapun partisipasi guru honorer yang tercantum pada kartu, Rheze menegaskan, tidak ada paksaan kepada orangtua siswa untuk melakukan pembayaran.
“Kalau untuk partisipasi guru honorer, itu tidak ada paksaan. Balik laginya, silahkan mau berpartisipasi silahkan, tidak berpartisipasi pun tidak apa-apa,” ucapnya.
Kemudian diisinggung Tim Investigasi soal kartu yang dianggap tak berlaku, namun masih digunakan untuk melakukan penagihan tunggakan pembayaran, lebih lanjut dalam konfirmasinya itu Rheze membenarkan adanya penagihan yang dilakukan oleh pihak pengurus Korlas atau Pos Kelas.
“Kami memang betul ada penagihan sebagai data, kata kami bilang, kami memerlukan data si orangtua tersebut akan membayar atau tidak? karena sebelumnya, 6 bulan awal si orangtua tersebut kan bayar sesuai bukti yang ada ya. Otomatis wajar, kalau kami pihak pengurus menanyakan hal itu, tapi kalau misalkan dari foto itu karena kartunya ada di saya, orangtua tersebut tidak ada konfirmasi menjawab kepada kami, sampai akhirnya kami tunggu jawabannya, beliau itu hanya menjanjikan,” jelasnya.
“Kalau beliau ada perkataan begini saja, mohon maaf saya tidak akan membayar karena satu dan lain hal..mungkin, misal tidak mampu, karena kami menganggapnya bukan tidak mampu, kan sebelumnya bayar. Jadi kami pikir beliau mampu, tapi kalaupun beliau tidak akan membayar, kami butuh pernyataan dari beliau, istilahnya kenapa tidak bayar, karena sebelumnya beliau bayar, otomatis nanti Yayasan pasti bertanya, ini kan sebelumnya bayar, sekarang tidak, nanti disangkanya kamilah pengurus yang melakukan istilahnya penggelapan, atau tidak disetorkan,” sambungnya.
Jadi kenapa ada penagihan, Rheze menambahkan, karena sebelumnya diakhir ajaran baru orangtua tersebut menjanjikan di tanggal 1 akan membayar.
“Karena orangtua tersebut bekerja di salah satu instansi juga, beliau bilang gajinya tidak turun setiap bulan kata beliau, akhirnya ya oke tidak apa-apa, kami pun menerima sampai ditunggu di tanggal yang dijanjikan dan sampai di ajaran baru pun tidak ada. Mungkin kami mengkonfirmasi wajar lah, bapak ibu ini bagaimana, tapi tidak ada jawaban,” ujarnya.
Adapun jawaban beliau setelah pihak pengurus pos kelas menghubungi melalui telepon, orangtua tersebut hanya menjawab, “Iya nanti saya akan ke sekolah”.
“Nah disitu kami bilang, ini tidak ada sangkut pautnya dengan sekolah, maksud kami yang belum dilakukan pembayaran itu tidak hanya komputernya, tapi kas nya juga ataupun yang lain-lainnya juga, tapi si anak tersebut tetap mendapatkan fasilitas yang sama, si anak tersebut yang kartunya ada di foto itu, disaat kenaikan kelas.. dia tetapkan itu dengan kartu kas juga dia belum selesai, tapi di saat kenaikan kelas dia tetap mendapatkan fasilitas yang sama. Mohon maaf karena kami sudah biasa membagikan budi baik ke anak-anak, anaknya tersebut mendapatkan, terus sekarang pas dia mempelajari pelajaran komputer anaknya juga tetap tidak istilahnya, oh ini anak belum bayar di stop tidak boleh masuk, tidak ada seperti itu,” bebernya.
Selain itu, Tim Investigasi juga mengkonfirmasi soal pembelian buku oleh orangtua siswa yang diduga tidak semua bisa di cover oleh dana BOS.
“Tercover oleh dana BOS, hanya saja kalau yang dari dana BOS itu kan ada aturan-aturan, sistemnya dipinjamkan, tidak istilahnya kalau dulu.. kalau sekarang sih alhamdulillah boleh di kerjakan di situ. Kalau dulu kan tidak, ya istilahnya tidak digunting, si buku itu harus rapi, harus apa gitu kalau dulu. Kalau sekarang boleh, cuman tetap harus dikembalikan, karena itu merupakan aset sekolah yang harus dilaporkan,” katanya.
Oleh karenanya, para orangtua siswa berinisiatif mengadakan rapat pembahasan terkait pembelian buku pelajaran.
“Jadi kami para orangtua yang menghadiri rapat di saat itu berinisiatif, ya sudah ayo kita beli saja kata orangtua yang ada saat rapat, dan itu pun sama sistemnya tidak ada paksaan, bagi yang berkenan. Kalaupun dia tidak mau tidak masalah, tidak ada perbedaan, mungkin istilahnya dari kami yang mengajak ada intervensi, tidak, apalagi kalau dari pihak sekolah atau pihak guru, tidak ada itu perbedaan antara siswa yang punya buku ataupun yang tidak punya buku (yang beli),” imbuhnya.
“Kalau yang dari pihak sekolah ada, cuman ada yang dibagikan (dibawa pulang ke rumah), ada yang tidak, karena mengingat kadang si anak itu kalau dibagikan pas jam pelajarannya tertinggal atau gimana. Jadi mungkin itu kebijakan setiap kelas beda-beda, ada yang dibagikan ada yang tidak,” tambahnya.
Tak hanya itu, Rheze pun dalam konfirmasinya itu kembali menegaskan, bahwa pembelian buku ini adalah inisiatif orangtua dari hasil rapat, bukan arahan dari sekolah. Meskipun dalam pelaksanaan rapat, di akui olehnya banyak orangtua yang tidak hadir.
“Kalau itu viur dari orangtua, malahan kadang orangtua itu langsung ke guru, bu bukunya apa, yang mana. Tapi karena dari BOS nya misalkan sudah dipesan tapi bukunya belum datang, jadi nanti dibagikan ke anak-anak. Kalaupun yang tidak hadir biasanya selalu ada kata-kata begini, yang tidak hadir itu mengikuti yang hadir rapat, karena yang tidak hadir dengan yang hadir itu lebih banyak. Tapi sekalipun tidak mengikuti tidak masalah, karena itu inisiatif dari orangtua, karena kami merasa para orangtua perlu untuk keberlangsungan anak-anak kami, toh tidak dipakai orang lain, dipakai untuk anak kami sendiri,” paparnya.
“Jadi kami merasa itu perlu, karena butuh pegangan, misalkan kalau ada perkataan, kan ada bu dari sekolah, tidak semua anak rajin untuk menyalin, salah satunya anak saya pun ada yang kakaknya sekarang di kelas 6 itu dia tidak suka menyalin, giliran nanti kalau tidak beli buku, giliran di akhir pada saat ada ujian atau apa, dia menghafal, bleng. Akhirnya yang digunakan handphone, nah.. kami para orangtua menghindari itu sebetulnya, daripada anak-anak kita mencari sumbernya dari gadget, lebih baik kita menyediakan media yang ada,” imbuhnya.
Setelah itu, Rheze menjelaskan lebih detail lagi, bahwa pembelian buku pelajaran oleh siswa di SDN Pancasila, tidak ada kaitannya dengan komite sekolah. Lantas apa sebenarnya Korlas ini, dan siapa yang membentuk? Jika Korlas bukan bagian dari komite sekolah!
“Tidak dari komite ya, karena komite pun tidak. Jadi ini mah viur masing-masing kelas, jadi Korlas bukan.. misalkan di koordinir komite juga tidak, ini mah masing-masing pengurus kelas dan sistemnya, yang mau silakan. Jadi di kelas itu kadang ada beberapa kolektif, tidak hanya di satu orang ini, misalkan di kelas ini kolektifnya sama si A, di kelas ini kolektifnya sama si B, nah.. itu pembeliannya tergantung si yang dititipin kolektifnya,” tuturnya.
Bahkan dalam pembelian buku untuk kegiatan belajar, kata Rheze, ada orangtua siswa yang langsung beli ke toko dan ada yang beli melalui online.
“Ada yang langsung ke toko, ada yang punya kenalan yang biasa mengirim buku. Misalkan, saya kebetulan punya teman yang bekerja di lingkungan dunia buku, jadi saya langsung tanya ke teman saya itu, ada buku ini tidak? punya buku ini tidak? jadi itu masing-masing korlas nya,” ujarnya.
Disinggung kembali soal kekhawatiran orangtua siswa jika pembelian buku pelajaran tidak melalui Korlas atau di kolektif kan, Rheze pun menganggap hal itu lucu.
“Sebetulnya hal itu lucu untuk saya, karena sejauh ini saya bisa jamin tidak ada intervensi, kalau yang dia takutkan intervensi, baik oleh pengurus apalagi mungkin oleh guru, saya mungkin orang pertama yang bakalan protes ke guru. Saya punya buktinya kalaupun saya share di grup, kata-katanya mau barengan silahkan, tidak barengan juga tidak apa-apa, atau mau beli boleh, dan di garis bawahi bagi yang berkenan, selalu kata-katanya seperti itu, kalau pun tidak berkenan ya tidak masalah,” terangnya.
Menurut Rheze, inisiatif pengurus Korlas dalam hal ini orangtua siswa mengadakan pembelian buku pelajaran semata-mata demi masa depan anak dalam belajar.
“Kami pun ini kan yang berinisiatif juga orangtua, karena kami pun memikirkan masa depan anak kami, kami ingin yang terbaik bukan berarti pengen sok-sokan beli buku, bukan. Kami pun alasannya membeli buku ini karena anak saya seperti salah satu tadi teman saya bilang, anak saya tuh malas nulisnya, jadi kalau menyalin itu dia tidak mau, tapi kan kalau ada buku enak anak saya tinggal mengerjakan soalnya saja,” imbuhnya.
Diakhir konfirmasinya Rheze menyampaikan, jika ada masalah, diharapkan kepada narasumber dan orang tua agar tidak membawa masalah keluar sekolah.
“Dari pemberitaan ini saya berharap ya buat siapapun narasumber ataupun orang tua di luar sana, tidak perlu masalah di sekolah dibawa keluar, karena saya bisa menjamin, semua tim Korlas kami dari kelas 1 sampai 6, kami membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk berkomunikasi yang baik. Kalau ada yang istilahnya kurang berkenan atau apapun, kami akan bantu selesaikan, karena tidak hanya dalam masalah ini, apapun itu,” katanya.
“Dan itu untuk masalah iuran apapun di setiap pertemuan selalu ada kata-kata bagi orang tua yang merasa kurang atau perlu dibantu, bilang. Tidak perlu ditutup, bilang ke saya, bukan untuk dipublikasikan tapi kita cari solusi supaya bapak ibu atau anaknya tetap mendapatkan fasilitas yang sama, karena kami berpikir, anak tetap harus mendapatkan haknya, apapun itu kita tetap mengedepankan sekalipun orangtuanya seperti apa. Anak-anak tidak tahu apa-apa, anak-anak harus mendapatkan yang terbaik, baik itu secara pelayanan, materi atau apapun, kami selalu pengurus itu mengedepankan kepentingan anak-anak,” sambungnya.
Sementara dihari yang sama, mantan orang tua siswa SDN Pancasila yang identitasnya tak ingin diketahui membenarkan adanya banyak pungutan uang di sekolah itu, yang membuat para orang tua merasa keberatan, dan terpaksa ikut melakukan pembayaran.
Ditambah lagi, dengan pengakuan seorang warga Desa Gudangkahuripan yang anaknya dipindahkan sekolahnya ke SDN Lain, karena disebabkan banyaknya pungutan uang di SDN Pancasila.
Kedua orang tersebut pun mendukung adanya pemberitaan yang telah ditayangkan sebelumnya.
Mereka berharap, dengan adanya pemberitaan ini SDN Pancasila Lembang ke depannya lebih transparan dan bisa lebih baik lagi.
Selanjutnya, masih menjadi pertanyaan besar, Koordinator kelas (Korlas) apakah bagian dari Komite sekolah atau ada yang membentuknya? Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan disebutkan, yang berhak menghimpun dana itu Komite atas persetujuan pihak sekolah, dan Korlas pun tidak disebutkan dalam peraturan perundang-undangan.
Apakah Korlas dibentuk untuk menyaingi komite? Atau sebagai Unit dibawah naungan komite! Chek and reechek Investigasi pun masih berlanjut…
liputan. : RED – TIM INVESTIGASI
Editor. : InfoNesia.me