INFONESIA.ME // Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya menjadi solusi untuk meningkatkan kesehatan dan gizi pelajar justru menuai kontroversi.

Edy Hunter, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Anti Pungli dan Korupsi Nasional, menilai program ini menyisakan banyak persoalan serius, mulai dari isu keamanan pangan hingga dugaan praktik monopoli.

Masyarakat kini dihantui rasa khawatir setelah berulang kali muncul kasus keracunan massal yang melibatkan siswa sekolah.

Temuan makanan basi, berbelatung, hingga aroma tidak sedap pada lauk pauk seperti tempe goreng dan ayam suwir kian memperkuat persepsi publik bahwa program ini dijalankan dengan perencanaan terburu-buru dan minim pengawasan.

“Program ini awalnya ditujukan untuk mendukung kesehatan anak-anak sekolah. Namun fakta di lapangan justru sebaliknya, muncul persoalan keracunan, mutu gizi yang jauh dari standar, bahkan kasus makanan tidak layak konsumsi,” ungkap Edy.

Selain soal kualitas, isu praktik kotor pun menyeruak. Dugaan monopoli pengadaan makanan oleh kontraktor besar, praktik “ketok harga” yang merugikan kualitas, hingga minimnya pemberdayaan UMKM lokal membuat masyarakat semakin meragukan tujuan program MBG.

member

Alih-alih memberdayakan dapur-dapur sekolah dan pelaku usaha kecil, program ini justru dianggap lebih menguntungkan pihak tertentu.

Ketidakmerataan distribusi juga memunculkan kecemburuan sosial. Sekolah di daerah terpencil kerap tidak mendapatkan akses yang sama, sehingga anak-anak di wilayah tertentu tak bisa merasakan manfaat program.

Tak sedikit orang tua yang kini memilih membekali anak-anak mereka dengan makanan dari rumah demi keamanan. Seperti di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, banyak keluarga yang lebih percaya pada masakan sendiri ketimbang menu MBG yang disediakan.

“Jika tidak segera dibenahi, program ini hanya akan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tegas Edy Hunter.

 

Jurnalis. : An/Red

Editor.    : InfoNesia.me