Nasional, INFONESIA.ME – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily mendorong Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) memberikan subsidi silang penerbitan sertifikasi halal untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri.

Dorongan itu diungkapkan Kang Ace, sapaan Tubagus Ace Hasan Syadzily, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VIII DPR RI dengan Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham tentang penerapan jaminan produk halal di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu 3 Juli 2024.

Kang Ace menyampaikan, berdasarkan data pemohon sertifikat halal dari luar pintu negeri, negara pemohon terbesar pertama adalah China.

Negara lain puluhan, China sudah 1.888 permohonan sertifikat halal dengan jumlah produk 38.000.

Artinya ini mencerminkan, pasar Indonesia digempur oleh produk China. Termasuk kehalalannya pun dikuasai China.

Syukurnya, China memperlihatkan ketaatan kepada aturan sertifikasi halal yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia.

member

Singapura sebagai pemohon sertifikasi halal terbesar kedua yang memperlihatkan bahwa Singapura merupakan negara produsen walau kecil. Yang ketiga, Malaysia. Ini mencerminkan, Malaysia sangat serius menjadi eksportir, menjadikan Indonesia sebagai pasar. Yang keempat, India.

“Data-data ini menarik, memperlihatkan bahwa negara-negara lain saja, yang mau masuk saja ke Indonesia, mereka sangat konsen terhadap sertifikasi halal. Makanya saya tadi tanya ke Pa Irham, ini duit semua pak?” kata Kang Ace.

Belum lagi, ujar Kang Ace, negara tetangga, Australia, New Zealand, Korea Selatan, dan Thailand. Semua dengan komoditas di atas 1.000.

Dengan data-data pengajuan sertifikasi halal dari negara lain, ini memperlihatkan Indonesia pasar dunia.

Akibat itu, tentu pertama, salah satu di antara asas jaminan produk halal itu akuntabilitas dan transparansi.

“Saya setuju dengan anggota Komisi VIII DPR RI, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) atau apa, harusnya ditujukan untuk keberlanjutan BPJPH. Dengan begitu anggaran BPJPH mungkin saja bisa lebih besar sekali dengan besarnya produk di negara lain yang masuk ke Indonesia. Karena, para pengajuan sertifikasi halal itu dikenakan tarif,” ujar Kang Ace.

Kang Ace yang juga menjabat Ketua DPD Partai Golkar Jabar ini menuturkan, sepertinya tidak tahu apakah tarif sertifikasi halal produk di negara lain tersebut masuk ke kas negara atau BPJPH hanya menerima laporan. Tarifnya sekian dan lain-lain.

“Maksud, saya, kami sementara masih menduga-duga, berapa sih pemasukan dari proses penerbitan sertifkasi halal di BPJPH. Ini sebetulnya adalah doing business. Ini bisnis uang, tarif. Kalau kami menduga, anggaran BPJPH sekarang Rp340 miliar. Saya tidak tahu ya, apakah perolehan PNBP dari tarif sertifikasi halal ini lebih dari segitu atau sepertinya tidak. Kalau lebih dari segitu, seharusnya protes ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” tutur dia.

Seharusnya, kata Kang Ace, pendapatan penerbitan sertifikasi halal untuk produk di negara lain dapat digunakan untuk mensubsidi silang UMKM dalam negeri.

“Yang diminta teman-teman (anggota Komisi VIII DPR) tadi, soal transparansi PNBP (hasil penerbitan sertifikat halal). Saya kira bukan hanya luar negeri, tapi juga dari para pelaku usaha menengah dan atas di dalam negeri, harus segera diarahkan ke subsidi silang untuk UMKM,” ucap Kang Ace.

Dalam kesempatan itu, Kang Ace juga menyoroti soal penundaan kewajiban para pelaku UMKM mengantongi sertifikasi halal dari BPJPH Kemenag.

Dia mengharapkan penundaan tersebut jangan membuat BPJPH kendur untuk mendorong para pelaku UMKM memenuhi kewajiban melakukan sertifikasi halal.

“Karena, kewajiban itu menyangkut payung hukum UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang itu mewajibkan seluruh produk yang beredar di Indonesia yang memang halal harus segera dapatkan sertifikasi halal,” ujar dia.

Kang Ace menuturkan, berbagai kendala terkait sertifikasi halal harus segera bisa diselesaikannya secara komprehensif. Salah satunya soal anggaran. Sesungguhnya sertifikasi halal bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah (pemda).

“Tadi Kepala BPJPH mengungkapkan beberapa pemerintah daerah telah menganggarkan biaya sertifikasi halal tersebut di APBD masing-masing. Ini tentu kabar yang baik. Tapi berapa daerah sih yang menganggarkan (dana sertifikasi halal) itu?” tutur Kang Ace.

BPJPH, kata dia, harus segera kembali mendata untuk memastikan soal APBD yang mengalokasikan anggaran sertifikasi halal untuk UMKM di daerah tersebut. Dengan dukungan dari pemda, goal BPJPH sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, dapat dicapai.

“Saya sepertinya tidak tahu, instruksi Mendagri terkait pengalokasian anggaran sertifikasi halal produk UMKM ke pemda bersifat mandatory atau opsional. Tentu sesuai amanat undang-undang seharusnya bersifat mandatory, perintah. Supaya amanat Undang-undang bisa dijalankan,” ucap dia.

Kang Ace menduga, anggaran sertifikasi halal di APBD itu bukan untuk UMKM melainkan untuk pendamping sertifikasi halal. Walaupun yang paling penting itu UMKM di daerah-daerah. Dapat jadi sepertinya tidak terjangkau oleh pendamping sertifikasi halal yang teregistrasi oleh BPJPH dan Kemenag.

“Untuk alasan itu pastikan dukungan pemda untuk program sertifikasi halal itu mandatory atau opsional. Saya inginnya mandatori dengan begitu daerah punya kewajiban untuk alasan itu,” tuturnya.***