INFONESIA.ME – LindungiHutan merilis studi kebijakan yang menyoroti tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan mangrove di Indonesia, khususnya antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan BRGM. Studi ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antara ketiga entitas tersebut, dengan harapan bisa meningkatkan efektivitas upaya konservasi dan keberlanjutan ekosistem mangrove di Indonesia.
Indonesia mempunyai ekosistem mangrove terluas ketiga di dunia, mencakup sekitar 23% dari seluruh mangrove dunia. Mangrove ini berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim, menyimpan lebih banyak sekali karbon daripada hutan tropis dataran tinggi. Tetapi, tumpang tindih kewenangan antara berbagai lembaga pemerintah telah dikarenakan kendala dalam pelaksanaan kebijakan dan program konservasi mangrove.
Sebagian besar ekosistem mangrove berada di kawasan hutan di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan sisanya berada di bawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Regulasi yang mengendalikan pengelolaan mangrove, seperti Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 dan Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020, kerap menimbulkan kompleksitas dalam koordinasi antarlembaga. Sampai pertengahan tahun 2023, goal rehabilitasi mangrove masih jauh dari tercapai, yang mengindikasikan perlunya langkahnya strategis yang lebih terkoordinasi.
Fahriza Dwi Indahyati dari LindungiHutan menekankan pentingnya memahami kewenangan masing-masing entitas untuk menghindari tumpang tindih kebijakan. Dengan pengetahuan yang tepat, berbagai pemangku kepentingan bisa lebih mengoordinasikan upaya konservasi mangrove dan kesejahteraan masyarakat pesisir. LindungiHutan mengharapkan studi kebijakan ini bisa menjadi panduan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan mangrove di Indonesia.
Sumber : VRITIMES.com